Kata Flory

  • Tentang
  • Kategori
    • Experiencia
    • Reflexion
    • Commentario
    • Literatura
  • Kontak

Reflexion

Literatura

Commentario

 

Dulu, sewaktu memutuskan ingin kuliah di universitas mana, saya hanya ingin UI. Iya, biarpun universitasnya ada di kota yang membosankan dan ruwet tapi demi UI saya rela-rela saja hidup di kota yang medioker. Lalu saya juga mencari cadangan kampus lain kalau-kalau tidak diterima di UI. Pilihan saya bukan pada kampus lagi tapi kota. Kalau tidak bisa kuliah di UI, yaa might as well kuliah di tempat yang saya suka suasananya. Jogja. Saya pun mencari kampus swasta terbaik yang punya jurusan Hubungan Internasional di sana. 

Kenapa saya begitu ngotot sekali kuliah jauh-jauh sampe ke Jogja? Saya juga tidak tahu. Bagi saya dulu Jogja itu kota cantik. Bandung juga cantik sih, tapi orangtua saya tidak mengizinkan remaja baru lulus SMA untuk kuliah di Bandung. Entah kenapa hidup di Bandung bagi orangtua saya konotasinya negatif. Ketika saya memberikan proposal Jogja, wah langsung disetujui. Pertama, karena dekat Karanganyar dan Solo kampung halaman saya. Kedua, karena biaya hidupnya murah. Ketiga, supaya dikelilingi oleh orang-orang Jawa (jadi mama tidak perlu cemas punya mantu selain orang Jawa, katanya).

Dan bidikan saya tepat. Selama empat tahun saya kuliah, Jogja benar-benar tidak pernah mengecewakan. Selalu cantik, selalu ramah. Rasanya seperti rumah kedua.

"Kalau pacaran di Jogja terus putus, harus pindah kota nih biar bisa move on!"

Celetuk salah satu teman saya di akun twitternya. Mungkin iya bagi beberapa orang, tapi Jogja bagi saya lebih dari sekedar kenangan menye-menye bersama mantan kekasih. Tentu saja saya patah hati berkali-kali di sini. Jatuh cinta juga berkali-kali di sini. Tidak mengubah perasaan saya terhadap tempat nyaman ini. Karena selama empat tahun saya punya buanyak sekali kenangan indah di sini: bersama teman-teman, rekan kerja. Kenangan haru biru dan kenangan membanggakan yang rasa-rasanya tidak akan bisa ditandingi oleh kota-kota lain.

Banyak yang bilang Jogja terlalu diromantisasi. Katanya Jogja dikisahkan dramatis agar orang-orang lupa berbagai masalah pelik yang menyelimuti tanah sultan ini: sampah, kemacetan, klitih, dan upah kelewat kecil. 

"Tapi, Jogja tuh provinsi paling bahagia se-Indonesia, loh!"

Saya berargumen kala itu ketika sedang berdiskusi dengan teman apakah hidup seterusnya hingga punya anak cucu di Jogja adalah hal yang tepat.

"Yaa.. Karena orang-orangnya nrimo ngga sih? Kayak yang... Yaudahlah. Gitu."

Iya, memang. Kan bahagia itu hanya masalah penerimaan.


Dulu saya tidak pernah membayangkan hidup (berkeluarga, membesarkan anak) selain di Jakarta. Kenapa? Sederhana. Ibukota akan selalu punya akses pendidikan dan kesehatan yang terbaik. Tapi lalu sekarang saya tahu bahwa Jogja juga punya sekolah yang tidak kalah bagus dari SMA 70 atau atau SD Menteng 03. Rumah sakit, mall, bahkan peninggalan budaya dan museum pun tak kalah bagus dari Jakarta. Pun dengan transportasinya. Memang Jogja belum punya MRT sih, tapi sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, siapa tau?

Tapi Jogja tidak hingar bingar. Tidak mengejar. Selama hampir setengah tahun ini saya kembali hidup di Jogja, entah kenapa semakin hari saya tambah semakin nrimo dan tidak macam-macam. Saya kan mau kota yang hidup dan menuntut supaya hidup bisa terus tambah maju. Iya, kan?

Pada akhirnya, dimanapun nanti saya hidup, perasaan saya pada Jogja tetap tidak berubah. Perasaan yang sama tiap kali saya berkendara melewati Tugu Pal Putih ke arah stasiun Yogyakarta lalu membelok sampai ke Malioboro: Jogja, kamu cantik sekali.

 

 
 
 
Setelah berpetualang dan berlelah-lelah di hari Sabtu, maka hari Minggu adalah waktu untuk tidak mandi seharian dan tidak meninggalkan kasur sekalian. Setelah membeli salad buah promo untuk makan siang sekaligus makan malam, saya kembali bergelung di bawah selimut dan melanjutkan dua episode terakhir Cosmos: The Space Odyssey yang sempat terjeda oleh How To Get Away With Murder.

Dari kecil, saya lebih suka langit daripada laut. Planetarium Jakarta adalah salah satu destinasi liburan terbaik yang pernah saya kunjungi waktu kecil dulu. Laut kita memang luas dan penuh misteri, tapi apa misteri yang lebih dalam dan tidak terbatas selain alam semesta? Mengetahui bahwa saya begitu kecil dan bahwa semesta begitu luat membuat saya merasa jumawa sekaligus awas. Dan karena alasan itulah saya mulai menonton serial Cosmos ini (selain karena tentu saja rating IMDBnya yang mengesankan!)

Sebagai perkenalan, serial Cosmos: The Space Odyssey ini dibawakan oleh Neil deGrasse Tyson dan terinspirasi dari serial dengan judul yang sama yang pernah dibawakan oleh legenda astrofisika, Carl Frikking Sagan. Sekalipun bercerita tentang luar angkasa, namun Cosmos juga banyak bercerita tentang kehidupan di bumi. Sebagai tontonan yang banyak bersinggungan dengan ilmu fisika seperti string theory, gravitasi, relativitas, dark matter, dan dark energy, hebatnya Cosmos juga menyajikan begitu banyak cerita dari ilmu pengetahuan lainnya seperti antropologi, biologi, dan bahkan biokimia.

Namun, sebagai orang yang menyukai dan memiliki latar belakang humaniora saya tentu saja lebih banyak mencerna dari sisi-sisi yang lain selain hard sciences yang ditayangkan. Seperti tentang bintang-bintang yang kita lihat di langit malam. Neil menjelaskan bahwa kemilau bintang-bintang yang kita lihat tidak lain merupakan pantulan sinar dari bintang yang sudah mati. Karena jaraknya yang begitu jauh dari bumi, sinarnya baru sampai ke bumi lama setelah tubuhnya meledak. Langit malam kita tidak lain dan tidak bukan adalah kuburan massal bintang-bintang.

Saat mendengarkan penjelasan ini, yang mengendap di pikiran saya bukan hanya seberapa jauh jarak satuan cahaya tapi bagaimana bintang-bintang sebenarnya merepresentasikan manusia. Ada miliaran manusia di muka bumi ini. Dan mereka semua ditakdirkan mati suatu hari nanti. Hanya sedikit saja yang bisa hidup hingga ribuan tahun kedepan. Ya, mereka-mereka yang sinarnya begitu terang hingga bisa bersinar melampaui ratusan tahun perubahan zaman.

Sama seperti bintang yang cahayanya memantul lama setelah meninggal. Manusia di bumi pun juga tetap 'dikenang' lama setelah mereka meninggal. Beberapa dikenal secara abadi. Orang-orang besar seperti Nabi Muhammad atau Newton. Beberapa yang lebih tidak signifikan seperti saya hanya akan dikenang oleh orang-orang terdekat saya. Keluarga, mungkin. Itupun hanya satu dua generasi saja. Lalu apa-apa yang saya pilih untuk hidup di dalam ingatan mereka adalah tanggungjawab saya. Semua bintang bersinar sama indahnya. Tapi sinar yang ditinggalkan manusia tentu saja beragam. Apa-apa yang ditinggalkan manusia setelah mereka meninggal tidak semuanya berkilauan. Namun, bagaimanapun jua toh manusia tersebut tetap hidup dalam pikiran manusia lainnya, dalam keadaan berkilauan maupun tidak.

Bukankah kita sama seperti bintang-bintang yang tetap hidup bahkan lama setelah kita mati?
 
Fisika membuat saya memahami hal-hal sederhana tentang kehidupan yang tidak pernah dijelaskan secara gamblang dalam kelas-kelas Humaniora.

Itu satu. Kemudian, hal lain yang saya dapat dari Cosmos adalah tentang betapa luasnya alam semesta. Dan karena itulah apapun masalah yang sedang dihadapi kita manusia kecil insignifikan ini bukan apa-apa dibanding megahnya dunia. Neil juga menjelaskan tentang betapa manusia masih saja takut dan enggan menjelajah alam semesta dengan alasan ketakutan akan ketidakpastian. Neil lalu memberikan contoh tentang kaum penjelajah dari Asia Timur yang mampu mengalahkan segala rintangan dan ketakutan akan ketidaktahuan untuk berlayar menuju pulau-pulau di daerah Pasifik. Umat manusia adalah penjelajah yang berani. Sebelumnya, di muka bumi kita hanya tahu satu daratan tapi lalu kita bisa mengarungi lautan dan menemui daratan lainnya yang tidak pernah kita tahu keberadaannya. Lalu, mengapa takut dengan mengarungi alam semesta? Bukankah kita, umat manusia, sudah pernah melakukannya?

Ini saya pahami sama dengan ketika kita harus melakukan hal yang benar-benar baru. Ketika hidup kita mendapatkan perubahan yang drastis, seringkali perubahan yang tidak kita inginkan, maka kita akan menyangkal atau bahkan melawan. Kenapa? Kenapa tidak kita arungi saja? Takut untuk pindah ke kota lain yang asing dan tidak kita kenal? Lalu kenapa? Bukankah nenek moyang kita saja begitu berani pindah mengarungi lautan tanpa ujung? Kenapa harus takut hanya berpindah kota? Berpindah tempat kerja? Dan pindah-pindah yang lainnya?

Nenek moyang kita adalah manusia yang hebat. Kenapa kita tidak bisa hebat juga?

 



13 Desember, 2032

Dear Diary,

Hari ini hari pertama aku masuk sekolah sebagai murid kelas dua. Aku harus pindah dari sekolah yang lama di kelas satu dulu. Kata bunda di sekolah baruku aku akan punya banyak teman untuk main saat istirahat. Sekolahku yang baru ini lebih kecil dan lebih ramai dari sekolah yang lama. Gedungnya cuma dua tingkat dan banyak penjualnya. Di sekolah yang lama aku tidak bisa jajan saat istirahat dan harus selalu memakan bekal yang dibawakan bunda. Bekal bunda selalu enak. Selalu ada oreo dan cha-cha coklatnya. Tapi teman-temanku di sekolah yang lama tidak ada yang suka cha-cha, makanya aku selalu makan bekalku di tangga depan kelas sendirian.

Hari ini biasa saja. Tidak ada kehebohan. Bunda membuat roti bakar dengan selai coklat kacang kesukaanku yang disimpan di botol kaca. Selain aku tidak ada lagi yang boleh makan selai coklat kacang itu. Bunda juga setuju, karena di atas tutup logam botolnya ada sepotong kertas berwarna pink dengan tulisan "puNya auRa" dan tiga gambar mahkota. Tentu saja harus ada mahkotanya karena kata ayah tuan putri di rumah ini adalah aku. Ayah sempat menawarkan Krystal, boneka barbie hadiah ulangtahunku yang keenam, untuk menjadi tuan putri juga. Aku ingat memutar bola mataku saat mengatakan, "Yah, semua orang tau di satu kerajaan cuma boleh ada satu tuan putri. Duh!"

Entah atas alasan apa ayah selalu tertawa tiap aku memutar bola mata. Katanya itu membuat ia yakin bahwa aku memang anak bunda. Padahal kan jelas aku keluar dari perut bunda (aku memutar bola mata lagi). Aku heran kenapa bunda bisa mau sama ayah. "Ya sayang, kenapa ya?" Aku ingat bunda melipat bibirnya dan mengerutkan kening, khas bunda saat berpikir. Bunda lebih pintar dari ayah, itu jelas. Bunda tahu semua hal! Walaupun aku pernah dengar bunda bilang bahwa nanti kalau aku sudah belajar tigernometik aku akan merasa bunda tidak pintar lagi. Mana mungkin, kan? Bunda tahu semua jenis macan di dunia ini!

Ngomong-ngomong, setelah aku pulang sekolah aku mengerjakan tugas Bahasa Indonesia. Setelah itu aku makan mie goreng udang yag dibuatkan bunda tadi pagi. Saat ayah pulang sore ini, ayah membawakan aku oleh-oleh buku harian ini. Katanya, karena aku sudah besar sekarang, aku boleh menulis buku harian, seperti Mia Thermopolis!

Hmm.. Apa lagi? Oh, hari ini sudah selesai rasanya. Ayah dan bunda menonton tv di ruang tengah dan aku juga mau menyusul mereka. Sampai ketemu besok, diary!
_________________________________________________________
14 Desember 2032

Dear Diary,

Lihat kan penanggalanku sekarang tidak ada komanya? Kata bunda setelah bulan tidak perlu ada koma.

Oh iya, hari ini di sekolah ada pelajaran olahraga dan kita harus menemukan patner untuk teman lempar bola hari ini. Tapi tidak ada teman kelasku yang mau panter sama 'anak baru'. Jadi, aku pura-pura sakit perut dan diam di kelas. Karena tadi aku tidak punya parter, aku menangis. Padahal kata bunda, kalau cengeng bukan anak bunda. Jadi hari ini aku cuma bilang kalau di sekolah bu Mar lupa menagih tugas matematika.

Kalau di sekolah baru aku tidak juga dapat teman, pasti bunda sedih, pasti kelas tiga nanti aku akan pindah sekolah lagi.
_________________________________________________________
15 Desember 2032

Dear Diary,

Hari ini aku dan bunda membereskan buku-buku lama bunda. Katanya bunda mau aku membaca cerita tentang anak penyihir yang juga tidak punya teman dan selalu diam di rumah, lalu penyihir kecil itu pergi ke sekolah baru dan bertemu dua teman yang menjadi temannya sampai mereka tua! Kata bunda cerita itu cerita yang paling bunda suka waktu kecil dulu. Bunda punya buku-bukunya dengan sampul keras karena dulu bunda selalu ingin anaknya (itu aku!) bisa baca cerita kesukaannya kalau sudah besar nanti.

Bunda menemukan buku-buku penyihir cilik itu. Semuanya ada tujuh dan mereka tebal-tebal sekali! Tapi kata bunda, bunda akan menemani aku saat membacanya, karena kata bunda "Kamu akan butuh bimbingan profesional." Hihihi. Aku tanya bunda katanya profesional itu artinya jago, terlatih, jadi bisa dibilang aku pemain barbie profesional.

Oh iya, hebatnya hari ini adalah buku-buku penyihir cilik itu bukan satu-satunya hal menarik yang aku dan bunda temukan di gudang. Kita juga menemukan selembar foto yang sudah lengket permukaannya terselip di salah satu buku orangtua milik bunda. Aku sebut buku orangtua karena tidak ada gambar di sampulnya selain tulisan besar-besar, judulnya juga berbahasa Inggris, mana mungkin aku tahu kan bahasa inggrisku di sekolah baru sampai 'family', bahasa inggrisku dengan bunda sih sudah sampai 'daily routine'.

Di foto tersebut ada bunda dan dua orang perempuan lainnya. Aku bertanya pada bunda siapa itu yang ada di foto tapi bunda tidak mau menjawab, katanya lelah, besok saja. Jadi, besok sehabis sarapan aku akan minta bunda menceritakan siapa perempuan-perempuan di foto itu sambil kita berangkat ke sekolah.
_________________________________________________________
16 Desember 2032

Dear Diary,

Bunda awalnya tidak mau cerita. Tapi karena aku merengut dan tidak mau bicara pada bunda selama sarapan dan perjalanan ke sekolah, akhirnya bunda bilang bunda akan cerita kalau aku pulang sekolah membawa nilai 100 di latihan matematika hari ini. Bunda tahu aku tidak pernah dapat nilai 100 untuk latihan matematika, jadi tentu saja aku belum tahu siapa dua perempuan itu.

Fotonya ada di meja belajarku sekarang (aku sedang melihatnya). Satu perempuan tingginya sama dengan bunda. Satu lagi lebih tinggi dari bunda dan memakai kacamata sama seperti bunda. Mereka berpelukan dan menutup mata di dalam foto. Lucu sekali. Aku hanya pernah melihat teman berpelukan seperti itu di dalam buku komik Applebee.
_________________________________________________________
18 Desember 2032

Dear Diary,

Akhirnyaaa bunda mau juga menceritakan siapa kedua perempuan itu. Kata bunda, mereka adalah teman bunda. Teman yang rasanya sudah seperti saudara.

Anehnya, bunda ternyata tidak perlu nilai 100 di matematika untuk menceritakan cerita itu. Aku cuma perlu bertanya apa bunda punya teman yang punya anak seumurku agar bisa aku ajak berfoto sambil berpelukan seperti di foto itu. Aku sudah punya teman sih di sekolah, teman sebangkuku namanya Aida. Tapi rambutnya berkutu banyak sekali. Kalau matahari sedang panas terik, aku bisa melihat dengan jelas telur-telur yang menempel di rambutnya jadi sebisa mungkin aku mau menambah teman lain yang bisa kuajak berpelukan tanpa harus tertular kutu rambut.

Oh iya, aku akan menulis cerita dari bunda besok karena hari ini hari sabtu dan hari sabtu adalah hari 'kencan dan makan di luar' untuk ayah dan bunda dan karena mereka sekarang punya aku jadi aku juga ikut. Sampai ketemu besok setelah kartun Princess Meriot!
_________________________________________________________
19 Desember 2032

Dear Diary,

Karena dua hari lalu aku belajar tentang kalimat langsung dan tidak langsung di kelas Bahasa Indonesia jadi hari ini aku mau menulis dengan banyak kalimat langsung karena aku masih suka bingung untuk menggunakan tanda bacanya (aku masih kesulitan membuat angka sembilan untuk tanda kutip, pasti kebesaran).

"Nama mereka Khian dan Selena", kata bunda. Bunda mengenal mereka di sekolah saat bunda masuk kuliah dulu.

"Khian mirip sama bunda, kami sama-sama berisik, tapi juga tidak mirip."

"Seperti bunda sama Aura, ya? mirip tapi tidak mirip juga?"

"Iya, seperti bunda sama Aura."

Kata bunda, Khian adalah perempuan yang tingginya hampir sama seperti bunda. Wajah Khian lonjong dan Khian punya mata yang indah. Aku tahu, bahkan di permukaan foto yang sudah belasan tahun dan lengket ini saja, sinar mata Khian masih bisa aku lihat. Kata bunda, Khian juga cerewet. Khian suka jajan. Khian suka sekali belanja dan berdandan. Mirip aku!

"Dulu bunda tidak suka jalan-jalan kalau tidak ada yang perlu dibeli, tapi karena Khian suka jalan-jalan di pusat perbelanjaan jadi bunda juga suka"

"Jadi Khian bikin bunda boros dong?" aku bertanya,

"Hm.. Ya dan tidak. Kita dulu sering pergi ke mall tanpa beli apa-apa. Aura tahu? Dulu bunda dan Khian pernah pergi ke mall hanya bawa uang 20 ribu."

"20 ribu? Itu uang jajanku sehari kan, bun?"

Bunda tersenyum tapi matanya tidak melihatku, mata bunda malah melihat tirai yang menutup pintu ke dapur.

"Bunda dan Khian sama-sama perlu keramaian kalau kita sedang capek dan bosan. Kita pernah ke mall hanya untuk beli dua donat, masing-masing satu, itu 16 ribu, sisa 4 ribu pas untuk biaya parkir. Jadi setelah beli donat, bunda dan Khian hanya duduk di bangku panjang di lantai teratas mall dan bisik-bisik mengomentari orang-orang yang lewat, kita ketawa sampai kehabisan nafas."

"Bunda bisa ketawa hanya dengan melihat orang-orang lewat?"

Bunda tersenyum lagi, kali ini matanya melihatku.

"Itulah ajaibnya teman, nak. Kita bisa melakukan hal paling sederhana di dunia dan tetap bisa merasakan kebahagiaan juga."

Duh, tanganku pegal sekali. Aku akan lanjut cerita lagi besok karena cerita bunda panjang sekali. Sampai ketemu besok, diary!
_________________________________________________________
20 Desember 2032

Dear Diary,

Teman bunda yang kedua adalah Selena. Bunda bilang Selena sama sekali tidak seperti bunda atau Khian. Selena lembut dan tidak cerewet. Selena juga yang paling tidak suka marah. Bunda bilang Selena hampir tidak pernah marah, kalau kesal Selena hanya akan diam dan tidak mengatakan apa-apa.

"Selena juga suka sekali berdandan. Sebenarnya bunda bisa sedikit tahu tentang kosmetik ya karena mereka berdua."

Jari-jari bunda yang kecil bergerak halus mengepang rambutku sepulang sekolah tadi. Hari ini bunda melanjutkan cerita tentang Khian dan Selena, teman baik bunda yang rasanya seperti saudara.

Bunda bilang Selena adalah juara menenangkan. Dulu, kalau bunda punya tugas kuliah yang susah atau bunda punya banyak kegiatan yang membuat lelah, bunda akan pergi ke rumah Selena. Di rumah Selena ada banyak buku dan bukan bunda namanya kalau tidak tergila-gila pada buku. Bunda sering datang menginap di rumah Selena, membaca buku, atau membuat masakan bersama-sama.

"Karena Selena tidak secerewet bunda atau Khian, bunda selalu suka mengobrol dengan Selena. Selena selalu tahu bagaimana caranya mendengarkan dengan baik, Selena selalu tahu bagaimana merespon cerita-cerita bunda: baik itu bunda sedang senang, bersemangat, sedih, atau kecewa."

Bunda menambahkan pita warna ungu muda di bawah kepangan rambutku. Itu pita baru yang kita beli saat bunda menjemput aku pulang dari sekolah tadi.

"Bunda selalu suka menginap di rumah Selena dan bicara sampai hampir pagi!"

"Memang bunda dan Selena bicara apa saja?"

"Banyak. Bicara tentang pemerintahan, tentang pernikahan, tentang cita-cita, tentang warna rambut."

"Kok bisa habis bicara cita-cita terus bicara warna rambut?"

Bunda tertawa. Setelah mengepang, bunda mengelus rambutku. Rambutku lurus dan halus seperti rambut bunda. Katanya dulu bunda selalu berdoa agar rambutku mengikuti rambut ayah yang bergelombang karena perempuan lebih cantik kalau rambutnya bergelombang tapi aku lebih suka rambutku seperti bunda.

"Selena adalah tipe teman yang dibutuhkan semua orang, Ra. Teman yang bisa kita ajak bicara tentang apa saja, tidak peduli bagaimananya."

"Terus Khian sama Selena ngga akur dong, bun?"

"Kok begitu?"

"Kan Khian cerewet, Selena tidak."

"Bunda juga cerewet. Kan karena bunda dan Khian banyak bicara dan Selena tidak makanya kita bisa saling melengkapi."

"Bunda, Khian, dan Selena seperti Harry, Ron, dan Hermione dong ya? Bunda Hermione, Khian Harry, dan Ron Selena?"

Tapi bunda tidak setuju. Katanya pertemanan mereka lebih baik daripada trio penyihir yang sekarang masuk daftar tokoh yang kusuka itu. Bunda bilang trio penyihir terlalu punya banyak perbedaan, akan susah untuk punya teman yang tidak punya persamaan sama sekali.

"Tapi, trio penyihir tetap berteman sampai anak mereka besar kan, bunda? Kok aku tidak pernah dengar tentang Khian dan Selena?"

Bunda diam. Mungkin karena kegiatan mengepang rambutku sudah selesai dan bunda perlu masak untuk ayah sore itu. Mungkin pertemanan orang dewasa memang begitu, mereka tidak bertemu setiap hari, tidak berbicara di telpon atau bermain di taman. Kan mereka tidak pergi ke sekolah lagi, mereka jadi tidak perlu telpon untuk menanyakan ada pr apa untuk besok hari. Mungkin setelah jadi orangtua, berteman itu hanya jadi sesederhana memiliki foto masing-masing. Karena jadi orangtua kan melelahkan! Buktinya bunda sering ketiduran di sofa tiap menemaniku nonton Princess Meriot. Tidak enak jadi orangtua. Untung masih lama sekali buatku untuk bisa jadi orangtua.

Cerita tentang Khian dan Selenanya sudah selesai, foto mereka juga sudah diambil bunda tadi malam. Jadi, besok aku akan tanya ayah tentang teman dekatnya. Pasti ayah juga punya teman dekat yang bisa aku tulis ceritanya di diary ini. Sampai ketemu besok!
_________________________________________________________

15 Des 32

Aura menemukan foto lamaku hari ini saat kita mencari buku Harry Potter di gudang. Itu adalah foto lamaku dengan Khian dan Selena. Mereka berdua adalah satu-satunya teman yang kupunya. Untuk waktu yang lama, temanku hanya mereka berdua. Dan itu cukup. Tidak ada yang tidak bisa kita lakukan saat kita bertiga. Kita sudah tumbuh terlalu sama dan terlalu dekat untuk bisa kehilangan satu sama lain. Lalu kita berjanji berteman sampai jadi nenek, sampai anak kita masing-masing memanggil satu sama lain dengan sebutan auntie.

Tapi tentu saja, dari segala yang bisa aku pelajari tentang waktu adalah bahwa kita tumbuh dengannya. Dan terkadang kita tumbuh menjauh. Aku juga tidak bisa memastikan dari mana mulainya kita tumbuh menjauh. Mungkin saat Selena melanjutkan kuliah lagi ke luar negeri waktu itu. Atau saat Khian mendapatkan pekerjaan bonafid di kota yang jauh itu. Atau saat aku bertemu mas Bian. Atau saat aku menikah dan mereka berdua tidak bisa datang ke kota tempat tinggalku. Atau saat mereka menikah dan sudah terlalu canggung untuk mengundangku karena kita sudah bertahun-tahun tidak bertemu.

Ada banyak sekali cara kita mendapatkan teman: di sekolah, di toko buku, menunggu antrian di stasiun. Dan hanya ada satu cara kehilangan mereka: prasangka.

Prasangka bahwa kita sudah sama-sama berubah, bahwa persahabatan kita dulu terlihat seperti kelompok konyol saat remaja, bahwa satu tahun tanpa komunikasi itu terlalu canggung untuk kembali menyapa dan menanyakan kabar.

Mendapatkan teman memang tidak sulit tapi mendapatkan kembali teman yang pernah kita punya?
Sulit sekali.

Aku sungguh berharap Aura bisa mengenal Khian dan Selena dengan mata kepalanya sendiri, merasakan pelukan hangat mereka dengan tubuhnya sendiri, mendengarkan tawa gila mereka dengan telinganya sendiri.

Dan aku sungguh takut menceritakan Khian dan Selena pada Aura karena aku tahu kata-kata yang meluncur dari mulutku tidak akan bisa memberikan keadilan pada bagaimana menakjubkannya Khian dan Selena selama ini sebagai teman, sebagai saudara.

Dan selembar foto rusak yang lengket tidak akan bisa menggambarkan betapa berartinya waktu-waktu yang kulalui bersama mereka: menangis maupun tertawa.

Mereka adalah sepuluh tahun terbaik yang kupunya. Bahkan hingga sekarang.

"Mengakhiri hidup adalah kekekalan bagi kesementaraan." 

Daim merebahkan kepalanya di atas bantal bersarung abu-abu. Kamarnya temaram dan sunyi. Udara dingin menyergap seisi ruang kubik melalui celah-celah kecil di atas jendela yang kusam dan berdebu. Bercak-bercak lembab menghiasi dinding kamar yang kotor, diselingi beberapa potongan kertas penuh coretan di sana-sini. Kontras dengan pemandangan semrawut di sekelilingnya, lantai di bawah kasur tipis tempat Daim terbaring anehnya terlihat bersih dari segala pernak-pernik. Beberapa pakaiannya yang belum disetrika ditumpuk rapi di atas meja kayu pendek. Sedikit buku yang dibeli Daim di awal kuliah tersusun di samping komputer bututnya. Segenggaman pulpen yang sudah habis tinta berdiri mengancam dari dalam kaleng. Daim adalah manusia yang apik, bahkan setelah saat ini hidupnya jungkir balik.

Sudah lima tahun tugas akhirnya tidak menemui jalan keluar. Di enam bulan pertama, Daim berpikir keterlambatan itu masihlah hal yang lumrah. Separuh kawan-kawannya di prodi belum jua selesai. Setahun kemudian, Daim masih bersantai. tiga tahun yang lalu, resah mulai menyergap. Terakhir ia ke kampus, tak ada satupun wajah yang dikenalinya. Semua baru. Daim linglung dan pulang mundur.

Enam tahun lalu, beasiswa desa yang didapatnya juga sudah habis masa berlakunya. Uang santunan itu hanya mampu membiayai kuliah hingga semester enam. Setelahnya, Daim harus terlunta-lunta mencari uang. Dan siklus setan hidupnya pun dimulai. Ia harus menyelesaikan kuliahnya, untuk menyelesaikan kuliahnya ia harus bekerja, karena terlalu sibuk bekerja ia tidak bisa menyelesaikan kuliahnya. Hidupnya lalu berputar dalam roda melelahkan tanpa ujung. Roda yang tampaknya hanya ada untuk orang-orang tak beruntung seperti Daim. Ia tidak melihat teman-temannya terengah-engah berlari dalam roda. Semua temannya berlari dalam lintasan lurus, beberapa dengan kendaraan jet. Daim? Menyentuh garis mulaipun belum. Sial. Turun dari roda putar keparat inipun belum.

Kini, sudah hampir tiga bulan ia menganggur. Kantor tempatnya bekerja telah merumahkan seluruh karyawan. Pandemi terkutuk menghantui seluruh dunia sejak awal tahun cantik ini. Tahun di mana banyak orang merencanakan hari bahagia mereka sekarang telah berubah menjadi tahun terburuk sepanjang masa, setidaknya bagi orang-orang yang lahir setelah perang dunia. Daim sudah mengeruk seluruh tabungan uang kuliah. Ia sudah pasrah melepas mimpinya sebagai sarjana. Mungkin seumur hidup berseragam kaus tipis dan pulang selepas petang dengan upah minimum telah menjadi garis takdirnya. Hari ini ia bahkan belum makan. Yang tersisa dari kotak kardus tempatnya menyimpan bahan makanan hanyalah sebungkus kopi instan. Itupun sudah ia seduh tadi pagi, pekat tanpa gula.

Udara petang menguar masuk memenuhi ruang kubik kecil itu. Daim memejamkan mata. Sudah seminggu ini ia hampir gila. Ia butuh alam. Ia butuh angin beku gunung-gunung tinggi. Ia butuh suara ombak berkejaran. Ia butuh merasakan percikan air asin. Apapun, yang bisa membuatnya bersyukur ia masih hidup. Tapi tentu saja, keluar dari kota ini sama dengan menantang maut. Secara literal maupun figural. Ia harus berhadapan dengan petugas-petugas yang akan mengecek surat-surat tes. Sial, kalaupun dia bisa membayar serangkaian tes mahal itu tentu sekarang perutnya tidak akan merintih terendam air pahit kopi murahan. Ia harus terpapar virus dan mati. Tapi mungkin pilihan yang terakhir itu terasa cukup baik.

Ada saat-saat Daim bermimpi duduk di kantor pialang tinggi. Berdasi dan perlente. Menyetir mobil mengkilap berwarna biru gelap. Pulang ke rumahnya yang besar berlantai dua di pusat kota. Istri cantik bermata jeli dan anaknya yang penurut, berambut ikal seperti Daim, tersenyum menunggu dan bersandar di kisi-kisi pintu. Tapi mimpi-mimpi itu tercecap seperti kertas buku usang yang entah sudah disimpan berapa dasawarsa. Atau sepeti film tua yang sudah tak bisa mengeluarkan suara. Asing dan rusak.

Daim lebih memilih Soe Hok Gie dan kerinduannya kepada kematian  muda. Nasib paling mujur memang tidak pernah dilahirkan. Tidak ada kesenangan dan kebahagiaan dalam hidup ini. Detik kau keluar dari lubang di tubuh ibumu, detik itu pula kau harus berjuang. Menangis terpapar udara dingin dan megap-megap meraup udara. Kehidupan itu kejam.

Pikirkan hal-hal–benda, suara, rasa–yang mungkin akan kita rindukan jika kita tidak lagi hidup.

Begitu kata salah satu artikel pencegahan bunuh diri yang Daim baca. Menggelikan, pikirnya. Jika orang-orang sungguh peduli pada kehidupan orang lain maka seharusnya mereka menciptakan penghilang rasa sakit yang bekerja selamanya. Tidak ada manusia yang membunuh dirinya sendiri karena ingin mati. Mereka melakukannya karena tidak ingin merasakan sakit lagi. Apa juga toh yang bisa dirindukan dari hidup ini selain kesengsaraan dan kemelaratan?

Daim toh tetap rindu suara gelombang air laut. Laut adalah ibunya. Di masa-masa pelik selama kuliah–kehilangan kekasih, dikejar tenggat hutang, tidak lulus ujian, kehabisan rokok–Daim akan lari ke pantai. Seperti apa yang dititahkan Rako Prijanto. Lari ke hutan lalu ke pantai. Melihat laut. Melihat gelombang yang datang berduyun-duyun tanpa ampun, perkasa. Melihat kekuatan air yang begitu besarnya membuat Daim merasa kecil dan tak berharga. Dan segala hal di dunia ini–rasa sakit dan kehilangan–tidak berarti apa-apa. Begitu kecil hingga manusia bisa saja tenggelam dan larut di bawah gelombangnya tanpa diributkan oleh siapapun. Lenyap. Begitu mudah.

Daim membuka matanya setelah sekian lama terbaring dan membutakan diri. Kini kamarnya biru gulita. Di luar, Daim bisa mendengar suara-suara kehidupan–obrolan pekerja yang baru pulang, suara kendaraan lalu lalang, panggilan solat. Daim bangkit dari kasur dan merentangkan tangannya meraih ponsel di atas meja kayu. Ia sumpalkan perangkat jemala ke lubang telinga dan menyetel suara ponsel  dalam mode nyaring.

Daim rebah. Suara gelombang air laut yang direkam orang lain di belahan bumi lain memenuhi ruang pendengarannya. Perlahan, tarikan napasnya berpadu dengan naik surutnya ombak. Daim memejamkan mata dan ia bisa melihat gulungan ombak berlarian menghampirinya dari tengah laut yang gelap dan dingin. Berduyun-duyun merengkuhnya ke dalam dekapan beku yang melarungnya ke kedalaman. Daim dapat mencium bau asin air dan butir pasir. Jemarinya menggaruk sprei kasur dan ia bisa merasakan lembut pasir menempel di telapak tangannya. Daim menghela nafas pelan dan dalam. Ia bisa merasakan hujan turun. Tetesan air beku yang jatuh di kulit wajahnya satu dua. Lalu seluruh. Beku. Basah.

"Apa hal yang paling kamu suka dari hidup ini?"

"Hujan."






"Kamu mau kuliah jurusan apa nanti?"
"HI, Hubungan Internasional."
"Karena keren ya? Ada internasionalnya."
Saya mengernyitkan dahi, saya kira seorang mahasiswa cara berpikirnya bisa lebih dari itu, kan?
"Bukan, karena pengen jadi duta besar."

Percakapan ini terjadi saat malam sedang gerah-gerahnya di musim kemarau delapan tahun lalu. Saat itu saya baru saja menjalani bulan keenam dari gap year yang saya habiskan di Pare, Kediri. Dari beberapa teman, saya termasuk ke dalam sedikit yang sudah yakin mau kuliah jurusan apa. Bukan karena keren, bukan karena embel-embel internasional, tapi karena saya, waktu itu, mau jadi duta besar. Sekarang sih juga masih mau, sepertinya sampai nanti punya anak cucu pun cita-cita saya menjadi duta besar tidak akan berubah :)

Di tulisan ini saya bukan siapa-siapa. Bukan diplomat muda. Bukan pegawai multinational corporation. Bukan penerima beasiswa pemerintah. Bukan siapa-siapa. Saya cuma seorang lulusan HI, yang masih berjibaku di papan terbawah dunia profesional, yang mau sedikit 'membela' jurusan yang saya ambil, yang syukurnya juga saya cintai.

Hal ini dipicu beberapa postingan teman-teman sejawat saya. Beberapa dengan jenakanya menyebarkan kebenaran pahit kami para sarjana HI seperti "Kuliah HI itu bagus banget prospeknya buat kalian yang mau duluan mengalami quarterlife crisis. Apalagi kalau mau ngerasain punya skill yang gak jelas apa dan gak tau mau dijual kemana atau kerja apa." atau "Ini yang pada minat kuliah di HI apa ngga pernah baca lulusan HI pada sambat cari kerja di twitter?"

Jahat sih, tapi benar.

Dan karena saya di sini menulis sebagai orang yang memang bukan siapa-siapa, saya tentunya tidak akan memberikan counter argument tentang betapa masuk HI itu sebenarnya awal masa depan yang menjanjikan atau tentang bagaimana jurusan itu tidak akan berpengaruh terhadap kesuksesan karena kenyataannya memang HAHAHA WOY SUSAH BANGET CARI KERJA TUH BUAT LULUSAN HI!!

Bahkan sekarang pekerjaan saya pun, sedihnya, bukan di bidang yang saya pelajari dulu. Alah.. Santai lah, banyak kok lulusan HI yang kerjanya malah di media atau di bank. Ya, memang. Tapi pekerjaan saya ini bisa saya lakukan tanpa harus belajar dan menulis skripsi di HI dulu. Pekerjaan yang kasarnya saya ngga kuliah di HI pun bisa mengerjakan ini.

Sejujurnya, waktu sekolah menengah pertama saya kepinginnya sih jadi pengacara tapi tidak diizinkan oleh orangtua untuk kuliah di jurusan Hukum. Kelas 11 SMA saya presentasi tentang Perserikatan Bangsa Bangsa di kelas Pendidikan Kewarganegaraan. Salah satu teman saya waktu itu bertanya tentang posisi Indonesia di mata dunia setelah Indonesia memutuskan keluar dari PBB di tahun 1965. Teman saya secara implisit mengatakan bahwa nilai Indonesia di mata dunia, khususnya PBB, jatuh berkat insiden keanggotaan itu. Anehnya, saya begitu bersemangat sekali menjawab dan menjelaskan mengapa profil Indonesia di mata PBB tetap baik dan tidak terpengaruh oleh keputusan Indonesia keluar dari PBB tersebut, sebagai buktinya saya juga menjelaskan pada seisi kelas bahwa Indonesia dipilih sebagai anggota Dewan Keamanan Tidak Tetap 1974-1975. Selesai kelas tersebut, saya dipuji oleh guru PKn dan keluar dari kelas saya lalu yakin apa yang ingin saya pelajari setelah lulus sekolah nanti. Akhirnya setelah negosiasi alot dengan orangtua, saya lalu dibolehkan kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, ilmu yang kata ayah saya 'tidak praktis dan tidak jelas'.
"Kenapa sih kamu ngga kuliah farmasi aja biar lulus kuliah bisa kerja di perusahaan farmasi?"

Singkat cerita saya lalu menghabiskan sebulan penuh melakukan riset jurusan. Saya tidak suka angka jadi saya menghindari setiap universitas yang HI-nya punya mata kuliah statistika. Saya juga mencari universitas yang menyediakan mata kuliah Politik Rusia, karena saya suka Rusia, waktu itu. Akhirnya pilihan saya jatuh pada Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (sebenarnya pilihan pertama ya UI tapi yaaa..)

Sebelum kuliah di mulai saya suka sekali membaca blog-blog lulusan HI, lebih-lebih yang sekarang sudah jadi diplomat. Ada satu blog milik lulusan HI UGM yang pada waktu saya baca dia sudah gagal tes Kemlu dua kali dan akhirnya memilih untuk bekerja di sebuah bank. Saya bahkan hingga saat ini masih ingat jelas potongan tulisan di blognya. "Kalau akhirnya hanya untuk bekerja di bank, untuk apa saya kuliah Hubungan Internasional? Kenapa saya tidak kuliah ekonomi saja? Kalau akhirnya hanya bekerja sebagai humas di perusahaan, untuk apa teman saya susah payah menulis skripsi tentang perang timur tengah? Kenapa dia tidak kuliah Public Relations saja?"

Saya belum pernah berpikiran seperti itu. Bagi saya bisa kuliah dan belajar di jurusan Hubungan Internasional adalah rencana saya (yang dirahmati Tuhan) yang menjadikan saya pribadi yang jauh, jauh lebih baik, terlepas dimanapun saya bekerja sekarang dan nanti. Karena waktu itu memang niat saya kuliah bukan untuk mencari kerja, tapi mencari ilmu.

Klise. Memang. Tapi karena pemikiran dasar yang saya tanamkan sejak awal mula saya menginjakkan kaki di gedung kuliah itulah yang kemudian membuat saya tidak pernah menyesali empat tahun yang saya habiskan di kampus. Apa pernah saya berpikir 'what if'? Tentu saja. Coba yaa kalau jadi kuliah di Hukum pasti sekarang saya sudah kerja di biro hukum mentereng di ibukota. Coba yaa kalau saya kuliah di Sastra Inggris pasti sekarang sudah di Cambridge untuk master TESOL. Tapi apa saya kemudian pernah berkata "Nyesel banget masuk HI"? Tidak. Kenapa?

Pertama, belajar HI melatih saya untuk memiliki pikiran yang terbuka dan kritis.

Kuliah perdana Pengantar Ilmu Hubungan Internasional tidak akan pernah saya lupa. Di awal kelas, dosen saya bertanya "Kenapa kalian masuk HI?" dan dosen saya ternyata sudah menyiapkan presentasi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Di mulai dari alasan "anak debat dan pernah ikut pertukaran pelajar" lalu lanjut ke "ditolak Kedokteran" (beberapa teman sekelas saya tertawa pelan-pelan mendengar alasan kedua ini) lalu lanjut ke "karena keren". Setelahnya, dosen saya lalu mulai masuk pada materi kuliah. Beliau mulai dengan menjelaskan tentang hakikat kebenaran. Kenapa sebuah kebenaran disebut kebenaran? Kalau ada tujuh orang yang melihat sapi dan menceritakan tujuh hal yang berbeda, mana yang bisa disebut kebenaran? Lalu dosen saya memperlihatkan sebuah kartun yang bergambar seorang anak sedang ditodong poros senjata, padahal aslinya gambar tersebut adalah gambar anak yang sedang tertawa bermain ranting kayu. Dosen saya lalu menjelaskan bahwa dalam belajar HI, kami harus skeptis. Kami tidak boleh menelan mentah-mentah setiap informasi yang kami baca. Kami harus mempertanyakan sesuatu sampai kami yakin, atau tidak yakin, yang jelas jangan pernah berhenti bertanya dan jangan pernah puas dengan jawabannya. Kami juga harus berpikiran terbuka karena pikiran yang tertutup tidak akan bisa mendapatkan informasi apapun.

Di akhir kelas, dosen saya menunjukkan sebuah meme dengan tulisan "Your mind is like a parachute, it only works when it opens." Kuliah perdana tersebut benar-benar mengubah cara pandang saya akan segala sesuatu. Dan bagi saya memang betul. Kalau kita belajar HI dan tidak memiliki pandangan terbuka, kita tidak akan paham apa itu sosialisme dan komunisme dan mengapa itu berbahaya, kita tidak akan paham apa itu kesetaraan gender dan apa itu transseksual kalau kita benci lesbian dan gay, kita tidak akan paham konflik imigran kalau kita takut pada pendatang, kita tidak akan memecahkan masalah apa-apa kalau kita sudah menganggap setiap hal asing yang kita temui adalah sumber masalah. Dan pandangan inilah, bagi saya, yang tidak akan saya dapatkan kalau saya tidak kuliah di Hubungan Internasional.

Anak HI itu memang liberal-liberal pemikirannya dan karena itu juga (biasanya) anak HI akan merasa paling klik mengobrol dengan anak HI lainnya.



Kedua, belajar HI melatih saya menerima perbedaan.

Karena belajar HI membuat saya terlatih berpikiran terbuka, maka sudah seyogyanya saya juga lebih menerima perbedaan. Mboten nggumunan. Well, itu dua hal yang berbeda sih memang. Saya merasa belajar banyak hal dari berbagai sudut dunia membuat saya tahu bahwa diversitas adalah keniscayaan. Saya juga belajar bahwa di dunia ini ada begitu banyak perbedaan dan sebenarnya perbedaan ini adalah sumber masalah dan juga sumber rahmat. Dari dalam kelas-kelas saya belajar bahwa Tuhan itu banyak macamnya. Tuhan yang berbeda menimbulkan konflik berkepanjangan. Itu lumrah, wajar. Manusia memang hanya takut pada hal-hal yang tidak bisa mereka pahami. Tuhannya sudah samapun ternyata alirannya berbeda dan perang berpuluh tahun bisa muncul hanya karena perbedaan ini.

Hubungan Internasional juga, saya percaya, adalah jurusan yang paling banyak memberikan eksposur global. Istilah kerennya sih hanya yang mempelajari dunia yang akan bisa menaklukan dunia hahaha. Mahasiswa-mahasiswa di HI, boleh dibilang, membiarkan kepala mereka berada di atas awan. Setiap hari yang mereka pantau adalah berita luar negeri. Apa yang dikatakan Trump hari ini? Terobosan apa yang dilakukan Ardern hari ini? Sebagian melakukannya karena memang menyukai membaca politik internasional, sebagian karena tuntutan tugas. Apapun alasannya, kebiasaan membaca dan dekat dengan hal-hal seperti ini membuat anak-anak HI menjadi terkesan 'ambisius' karena punya mimpi-mimpi besar. Kalaupun tidak berhasrat untuk bermimpi besar, setidaknya berhasrat untuk melihat negara lain setahun sekali.

Banyak hal baru terjadi di sekeliling dunia. Paradoxically, tidak ada hal yang benar-benar baru. Karena itulah kemudian anak HI biasanya sulit untuk dibuat tercengang. Karena yaa itu tadi.. Mereka, atau saya deh supaya tidak dianggap secara paksa menyeret anak HI lainnya, secara penuh dan sadar memahami bahwa dunia itu luas dan tak terbatas. Kemunculan satu dua hal baru tidak akan lantas membuat saya jatuh dari kursi saya duduk.

Saya ingat kelas Seminar HI dimana kita dipersiapkan untuk menulis proposal skrispi. Wow, dari 30 mahasiswa yang ada di kelas tersebut, semuanya membawa topik dan permasalahan yang berbeda dari seluruh dunia. Luar biasa. Ternyata dunia kita memang bermasalah. Dan untung sekali kan kita punya ribuan sarjana HI yang bisa mengidentifikasi masalah tersebut! (tapi menyelesaikannya, hmm tunggu dulu hahaha)

Ketiga, belajar HI melatih saya untuk menjadi serba bisa dan serba siap.

Saya ingat mengobrol dengan salah satu teman saya di klub debat di tahun pertama kuliah. Dia baru saja mengikuti Model United Nations pertamanya di akhir minggu waktu itu.

"Kayak gimana rasanya ngewakilin negara lain di MUN?"
"Nah, man.. I think the whole point of being IR student is pretending that you know everything when you know nothing!"

Dan demikianlah teman saya merangkum empat tahun jungkir balik belajar HI dalam satu kalimat efektif.

Dan ini benar sekali. Kerap kali di sidang diplomatik saya harus mewakili kepentingan satu negara yang menginjak tanahnya saja saya belum pernah! Nama presidennya pun saya baru tahu saat harus riset untuk menulis position paper. Lalu saya harus berdandan rapih di ruang sidang, membaca selembar kertas, berpura-pura menjadi yang paling tahu tentang Central African Republic!

Uni time was insane indeed :)

Pernyataan yang mengatakan bahwa lulusan HI tidak memiliki skill yang jelas memang ada benarnya. Lulusan kedokteran? Tentu saja menjadi dokter dan menyembuhkan orang sakit. Lulusan Ilmu Komputer? Tentu saja membuat aplikasi yang bisa memudahkan hidup banyak orang. Lulusan Pendidikan? Mencerdaskan kehidupan bangsa. Lulusan Administrasi Negara? Mengurus negara. Lulusan Pertanian? Bekerja di bank Memastikan warga negara Indonesia tidak kelaparan dengan terobosan teknologi pertanian. Lulusan HI? Menjaga hubungan baik antarnegara? Well, menjaga hubungan baik dengan sesama saja sudah susah.

Lulusan HI memang tidak punya skill yang masuk dalam kotak kerja. Hampir tidak ada lowongan pekerjaan yang merinci Hubungan Internasional dalam persyaratannya (kecuali tentu saja di Kementerian Luar Negeri atau untuk lowongan yang membolehkan semua jurusan). Dan karena tidak ada skill spesifik yang hanya mampu dimiliki oleh mahasiswa HI-lah kemudian yang membuat lulusan HI bermanuver sedemikian rupa.

Teman-teman dan kakak-kakak tingkat saya, baik yang satu universitas maupun yang saya kenal dari kegiatan-kegiatan di luar, saat ini tersebar di berbagai macam bidang karir. Diplomat, tentu sudah pasti, jurnalis, reporter, penulis, pebisnis, account executive, public relations, peneliti, sales manager, dan entah apa lagi di berbagai perusahaan baik negeri maupun swasta yang bergerak di berbagai bidang. Hal ini terjadi karena, sejauh yang saya kenal, anak HI memang terbiasa memiliki berbagai macam kebisaan.

Saya punya satu teman yang pernah ditolak oleh sebuah perusahaan karena dinilai terlalu opportunis.

"Kamu bisa negosiasi?"
"Bisa, pak."
"Kamu bisa menulis?"
"Bisa, pak."
"Bisa Excel dan SPSS?"
"Bisa, pak."
"Bisa membuat laporan keuangan?"
"Bisa, pak."
"Bisa manage event?"
"Bisa, pak."
"Bisa selling juga ya? Pernah berdagang di kampus?
"Bisa dan pernah, pak."
"Di CV kamu tertulis kamu bisa desain? Photoshop dan Corel?"
"Bisa, pak. Video juga saya bisa walau memang belum mahir."
"Kamu opportunis sekali ya."

Lalu ditolak, karena dianggap tidak memiliki fokus di satu bidang tertentu.
Apakah kalian bingung? Ya, saya juga.
Tidak punya skill, ditolak. Terlalu banyak skill, juga ditolak.
FYI, saya juga pernah ditolak di sebuah perusahaan di wawancara user karena dianggap overqualified. Ternyata ditolak dengan kalimat "Kamu terlalu baik buat aku." itu memang menyakitkan ya :)

Well, bagaimanapun, kebanyakan anak HI memang memiliki skill yang beragam. Ya karena itu tadi, di kelas tidak pernah dituntut untuk memiliki skill tertentu sehingga memungkinkan anak HI untuk belajar skill lain yang sesuai dengan keinginan mereka. Anak HI juga yang paling banyak punya waktu luang, makanya yang paling sering keluyuran di acara-acara kampus juga, karena.. Well, menyelesaikan skripsi saja tidak perlu banyak keringat. Duduk di Indomaret Point saja beberapa jam dalam seminggu cukup tiga bulan skripsi kelar.

Skill lulusan HI memang tidak menjual. Tapi sangat berguna di kehidupan sehari-hari, baik di dalam kantor maupun di luar kantor.

Kemampuan mengidentifikasi masalah, kemampuan mencari solusi dengan variabel-variabel yang ada, kemampuan negosiasi dan resolusi konflik, kemampuan menulis, kemampuan ngebacot alias berbicara (yang ini sudah pasti semua lulusan HI punya), dan tentu saja kemampuan untuk cepat belajar dan adaptasi hal baru.

Kalau dipikir-pikir, belajar HI selama bertahun-tahun itu bukan sebuah kesia-siaan. Dimana lagi kita bisa belajar literally semua hal kalau bukan di HI? Di jurusan mana kita bisa belajar soal agama, politik, ekonomi, budaya, sepakbola, matematika, F-16, dan manajemen sampah sekaligus?

Kalau, in any chance, ada pembaca yang masih SMA dan somehow membaca tulisan ini dan tertarik belajar HI. Well, ada baiknya riset dulu mata kuliah apa saja yang ditawarkan di universitas yang mau kalian tuju. Jangan pernah berpikiran bahwa HI hanya belajar tentang luar negeri, seperti meme yang dibuat oleh adik tingkat saya ini hihihi


Lagipula, seriously, who signs up for a four-year study without even looking at what you sign up to??


Akhir kata, saya ingin merinci kenapa jangan kuliah di HI, hanya supaya tulisan ini berimbang, you know...

1. SUSAH BANGET CARI KERJA
2. SUSAH BANGET CARI KERJA
3. SUSAH BANGET CARI KERJA
4. SEKALINYA DAPET KERJA NGGA NYAMBUNG SAMA APA YANG DIPELAJARIN
5. DIANGGEP KEREN DAN PERLENTE PADAHAL HEHEHE

Sekian!
Kuliah? Hubungan Internesyenel aja˜˜˜


Ada 3 alasan saya menyukai film Theory of Everything:
1. British accent, British actors: just British!
2. Eddie Redmayne
3. Based on true events

Saya memang cukup menyukai film-film biografikal semacam ini, bagi saya ada sebuah ketertarikan emosional ketika saya tahu bahwa 'fiksi' yang sedang saya tonton ternyata merupakan kisah yang sungguh-sungguh terjadi. Meskipun, yaaah.. Tentu saja kebanyakan film dengan embel-embel 'based on true events' tentunya memiliki beberapa potongan dan sempalan di sana-sini untuk membuat kisah atau konfliknya menarik tapi bagi saya film-film ini tetap menjadi salah satu jembatan saya kepada kisah-kisah dongeng, yang menjadi bukti bahwa kehidupan itu bisa berakhir indah bagi semua orang.

Ok, jadi tepat 5 tahun yang lalu saya menonton film ini dan begitu menyukainya sampai saya menuliskan ulasannya di blog di sini.

Tapi tentu saja tulisan saya waktu itu sangat 'meh'. Yah, maklumi saja saya baru kuliah semester dua atau tiga waktu itu, masih sangat bodoh dan belum tahu banyak hal, meskipun sekarang juga masih sama keadaannya. Jadi, beberapa minggu yang lalu saya menyempatkan diri menonton kembali Theory of Everything dan saya terkesan dengan betapa banyaknya hal yang saya luputkan.

Ketika saya menonton film ini 5 tahun yang lalu, saya tersedot pada peliknya kisah romansa antara Stephen dan Jane. Saya menghabiskan dua jam menonton dan yang saya rasakan hanya satu: cinta. Bahwa cinta itu punya masa habis. Tidak ada cinta yang bisa ajeg selamanya, terlebih jika kita sudah habis-habisan memberikan cinta dan kasih di awal mula. Terlebih jika kita jadi satu-satunya yang mengangkat beban dan memastikan segalanya tetap berjalan. Ternyata, rasa lelah lebih agung daripada cinta.

Film ini dulu menyadarkan saya bahwa, selain kasih ibu, tidak ada lagi kasih yang sama murni dan  kerelaannya. Tidak ada kasih yang mampu bertahan dalam keterus-terusan memberi. Ungkapan yang mengatakan bahwa cinta adalah terus memberi tanpa mengharapkan kembali adalah omong kosong paling besar di muka bumi ini. Orang-orang yang percaya pada hal tersebut layak dipenjarakan di pulau terpencil. Dari film itu, dan beberapa pengalaman pribadi, saya paham bahwa cinta sendirian tidak akan berhasil. Bukan berarti saya sudah pernah berhasil, selama ini yang saya temui hanya kegagalan. Tapi tetap saya punya keyakinan bahwa cinta saja, tidak pernah dan tidak akan pernah, cukup. Kerjasama adalah keharusan nomor dua yang datang setelah cinta. Cinta tanpa kerja sama? Bencana. Kerja sama tanpa cinta? Rekan bisnis.

Tapi setelah beberapa malam yang lalu saya menonton film ini kembali saya jadi menyadari hal yang jauh lebih daripada sekadar cinta dan usaha. Saya bisa melihat bahwa Jane bukan hanya merasa lelah karena harus berusaha sendirian. Ia juga lelah karena harus selalu menjadi yang nomor dua.

Tepat sebelum Jane menikah dengan Stephen, ayah Stephen mengatakan bahwa semua ini lebih besar daripada apa yang Jane kira. Bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak akan merestui pernikahan mereka. Beban ilmu pengetahuan ada di tahun-tahun Stephen yang tidak akan panjang. Bahwa Jane, akan membuat waktu yang sudah sedikit itu menjadi semakin sedikit. Ilmu pengetahuan akan marah.

Adegan tersebut mengingatkan saya kepada kecenderungan wanita untuk selalu menjadi nomor dua setelah pencapaian suaminya. Bahwa ia hanya dipandang sebagai sesuatu yang akan memberatkan, atau sebagai pelengkap atas hal-hal besar yang bisa dicapai seorang lelaki. Behind every successful man is a great woman. Kenapa wanita harus di belakang? Kenapa tidak di sisi? Karena, tentu saja, saat mendapatkan pencapaian, laki-laki akan tampil di permukaan all by himself and his mighty power.

Saya jadi teringat pada film Kim Ji-Young, Born 1982 yang menitikberatkan pada peran wanita di negeri timur. Bagaimana domestikasi wanita menjadi hal yang lumrah dan normal. Sampai ke titik di mana wanita yang menginginkan karir menjadi hal yang tidak lumrah dan tidak normal. Saya lalu jadi teringat kembali pada ungkapan Najwa Shihab yang terkenal:
"Kenapa sih wanita harus selalu memilih? Bukankah kita bisa mendapatkan kedua-duanya?"
Ya, tidak ada yang tidak saya sepakati dari pertanyaan tersebut. Meskipun, tentu, akan mudah menanyakan pertanyaan tersebut jika perempuan itu adalah Najwa Shihab yang memiliki reputasi nasional dan penghasilan yang bukan kepalang besarnya. Bagaimana jika yang menanyakan pertanyaan tersebut adalah wanita biasa? Yang karirnya hanya berarti duduk di meja kantor dari pukul 8 hingga 4 mengerjakan dokumen-dokumen membosankan yang tidak mengubah dunia? Bagaimana jika yang menanyakan tersebut adalah wanita biasa? Yang penghasilan dari pekerjaannya hanya separuh dari apa yang suaminya dapatkan? Maka jawabannya adalah wanita harus memilih. Dan terkadang pilihannya sudah pasti. Lelaki mendapatkan penghasilan lebih besar dan anak-anak membutuhkan kasih sayang dari ibunya setiap saat. Najwa Shihab lupa bahwa pilihan semua wanita tidak sama.

Begitu pula pilihan yang dimiliki Jane. Ia harus memilih hidup bahagia atau hidup tanpa beban. Ia harus memilih pencapaiannya atau pencapaian Stephen. Semua wanita pada akhirnya harus memilih, pilihan yang sulit. Dan tentu saja, masih akan ada laki-laki yang dengan lancangnya berseru "Kalian beruntung kalian bisa punya pilihan!"



Hari ini saya melihat status salah satu teman di WhatsApp. Singkatnya sih tentang kenapa sih kok ada orang yang segitu feminisnya sampai ribut mempermasalahkan kaum perempuan yang dibayar murah untuk memasak. Yang mengganggu bukan masalah kesadaran feminisnya, katanya, yang mengganggu adalah betapa bahkan becandaan "Imagine being so woke you're angry at people making meal. It's just cooking bro, it's not that deep." saja melahirkan kuliah nan panjang betapa sosieti alias masyarakat memandang memasak sebagai pekerjaan lazim lumrah wajib bagi perempuan sehingga tidak pernah mempermasalahkan upah kecil yang didapatkan oleh kaum marjinal ini.

Saya sih, tidak pernah mempermasalahkan pandangan feminis yang sebegitu ribetnya itu. Pertama, karena bagi saya memang pelumrahan melalui becandaan itu yang paling susah untuk dihilangkan. "Aduh, kan cuma becanda!" ya memang. Bagi saya, dan saya yakin bagi banyak woke people lainnya yang merasa becandaan ini sama menggangunya dengan becandaan "Kalo cuma bisa ngangkang jangan jadi istri tapi open BO aja!" tipe-tipe becandaan yang tidak lucu dan tidak menyegarkan sama sekali. Lagipula bukankah pelumrahan memang muncul dalam canda? Bukankah kita mengatakan satu hal itu lumrah jika kita terbiasa membuatnya sebagai bahan candaan?

"It's just cooking bro. It's not that deep." bagi saya adalah pelumrahan. Suka atau tidak, candaan adalah sesuatu yang muncul tanpa analisa, tanpa proses berpikir, yang artinya bahan candaan muncul dari alam bawah sadar kita. Muncul dari pemahaman kita akan sesuatu. Kalau memang yang kita pahami adalah memasak hanya soal memasak bagi perempuan semata ya itu berarti alam bawah sadar kita memang mengakui bahwa pekerjaan memasak adalah pekerjaan yang wajib dilakukan bagi perempuan.

Tapi, tentu saja saya bisa salah. Pun saya juga tidak tahu asal muasal kalimat tersebut dipicu oleh cuitan lain yang mungkin saja memang candaan satir dan dibalas dengan candaan satir lainnya. Lagi, saya hanya melihat potongannya dari status seorang teman.

(Malamnya, salah satu teman yang lain mengirim pesan dan menanyakan perihal masak-memasak yang ternyata sedang meledak di twitter itu. Dia sedang terlibat perdebatan dengan laki-laki lain tentang bagaimana seharusnya istri yang memasak dan tinggal di rumah seharusnya diberi upah.

Ok, jadi saya paham maksudnya upah di sini. Sebelumnya saya kira upah di sini dimaksudkan untuk pekerja domestik yang diberi upah di bawah standar, oalah ternyata upah ini dimaksudkan untuk ibu rumah tangga. Hahaha. Ok.

Kemudian, saya memberikan jawaban yang kurang lebih seperti ini: Menikah, atau berumahtangga adalah pekerjaan kelompok yang dilakukan secara bersama-sama. Dalam peran tradisional, suami mencari nafkah dan memastikan kehidupan istri dan anak-anaknya tercukupi. Istri mengurus rumah dan memastikan kebutuhan suami dan anak-anaknya tercukupi. Suami menghabiskan lebih dari separuh hidupnya berumah tangga dengan bekerja dan jauh dari rumah. Istri menghabiskan lebih dari separuh hidupnya berumah tangga dengan bekerja di rumah.

Suami lelah dari pagi hingga sore bekerja dan mencari uang untuk membayar sekolah, listrik, cicilan, tabungan pensiun, dan hadiah ulangtahun pernikahan.

Istri lelah dari pagi hingga sore bekerja di rumah memasak, mengantar jemput anak sekolah, menyuci baju, menyuci piring, menyetrika baju, menemani anak belajar.

Tentu tidak akan selalu rigid begitu, terkadang istri juga berjualan membantu nafkah keluarga dan terkadang suami menjemur pakaian atau mengambil rapor anak.

Tidakkah pembagian peran tradisional tersebut sudah imbang dan adil? Saya, seberapa pun feminisnya, saya tidak akan mau menerima 'upah' dari suami untuk memasak dan menjaga anak saya sendiri. Saya malah akan terasa terhina. Karena, bukankah itu adalah kewajiban dan kebanggaan saya sebagai seorang istri dan ibu? Yaa.. Meskipun tentu saja 'upah' itu bisa juga diberikan dalam bentuk liburan keluarga atau kado ulang tahun, no?

Lagipula, kapitalis mana sih yang mulai melihat pernikahan sebagai neraca untung rugi dan hitung-hitungan matematis begitu?

Kalaupun mau dihitung siapa yang lebih rugi, saya malah sejak dulu selalu peduli dengan stigma bapak yang tidak kenal anaknya. Karena tentu saja bapak kerja di luar dari senin hingga jumat, bayangkan hanya sabtu dan minggu saja bapak ada di rumah, tentunya tidak sepadan dengan kehadiran ibu yang 24/7 ada di jarak pandang si anak. Tidak heran kalau kemudian 10 dari 10 anak lebih sayang ibu daripada bapaknya. Rugi sekali menjadi bapak, sudah harus jauh dari rumah demi istri dan anak-anak eh tetap saja ada di urutan keempat di hati seorang anak!)

Kembali ke status tersebut, saya jadi otomatis teringat pada satu cerita di Harry Potter yang ditulis oleh JK Rowling (yang akhir-akhir ini di-cancel banyak orang karena insensitif terhadap transpuan). Ngomong-ngomong, bagaimanapun reputasi Rowling sekarang, saya masih yakin bahwa sebagai penulis ia memang luar biasa dan meskipun ia gagal memperlihatkan representasi yang lebih beragam dalam kisah penyihir yang ditulis di tahun 90-an itu (seriously people, HP diterbitkan tahun 1997 dan kalian mengadili Rowling karena tidak memasukan lebih banyak representasi gender dan ras? Apa tidak ingat Westlife yang terpaksa harus bubar di awal tahun 2000-an hanya karena salah satu personilnya seorang gay?) tapi Rowling berhasil memberikan satu pelajaran penting tentang feminisme.

Ceritanya di buku ketujuh ketika trio penyihir berkemah keliling negeri mencari horcrux dan Hermione marah karena selalu diberi tugas untuk menyiapkan makanan "Karena aku perempuan, kurasa!" dan bukan karena fakta bahwa ia yang paling pintar sihir diantara Ron dan Harry. Ya, memasak memang seolah sudah terlalu lekat pada kaum perempuan. Bahkan saat saya KKN pun, yang dilakukan di masa modern 2017, tidak pernah sekalipun teman-teman mahasiswa saya memasak di dapur.

Karena saya banyak menonton series saya juga langsung ingat pada episode 15 di Young Sheldon Season 3. Di episode tersebut Sheldon kecil mendapatkan tugas kelompok di kampus untuk pertama kalinya. Ia ada di satu kelompok bersama seorang remaja laki-laki dan perempuan. Karena Sheldon belum cukup umur, kerja kelompokpun dilakukan di rumahnya. Ibu Sheldon, wanita kristen taat yang selalu memuliakan tamu, lalu meminta si mahasiswa untuk membawa pakaian kotornya agar bisa dicuci sementara mereka bekerja kelompok. Ibu Sheldon juga memanjakan teman-teman anaknya dengan kudapan dan makanan.

Saat kerjanya dimulai, si laki-laki meminta si perempuan untuk mencatat di papan tulis sementara mereka berdiskusi. "Why? Because I'm a woman so I must have prettier handwriting?". Tidak berhenti di situ, Sheldon yang memang bocah jenius meminta teman-temannya untuk tidak berpikir dan percaya pada pemecahan masalah yang ia bawa untuk tugas tersebut. Keadaan memanas dan teman sekelompoknya pergi dari ruang tamu. Si perempuan merokok di luar rumah saat ibu Sheldon keluar mencoba mendinginkan suasana.

Si perempuan lalu bercerita bagaimana rasanya menjadi mahasiswi di prodi yang mayoritas diisi oleh laki-laki. Ia juga menceritakan bagaimana rasanya menjadi calon ilmuwati diantara ilmuwan-ilmuwan. "They used to look down on me, you know? Said I am a woman and I belong to the kitchen and it doesn't help when woman like you spoil them by doing their laundry and cooking their meals."

Ibu Sheldon marah dan menutup pintu (setelah dengan epiknya mengatakan "Sheldon doesn't look down on woman. He looks down on everybody!"). Setelahnya si perempuan meminta maaf karena telah menjadi tamu yang buruk dan menyakiti perasaan ibu Sheldon. Ia berkata bahwa sebagai perempuan, yang selalu menginginkan kebebasan dan kesetaraan bagi kaumnya, ia sadar bahwa keseteraan itu berarti perempuan bisa memilih untuk menjadi ilmuwan maupun menjadi pengurus keluarga, termasuk memasak dan mencuci pakaian kotor.

Saya rasa pemahaman itu yang banyak belum dimiliki oleh orang. Banyak feminis-feminis yang kemudian mengagungkan wanita-wanita yang perkasa berdiri di belakang meja kantor dan merendahkan sesamanya yang memilih duduk di belakang konter dapur memanaskan minyak sayur. Bukankah kesetaraan memang berarti kita bisa menentukan apapun yang kita mau tanpa dibatasi oleh gender yang tidak kita pilih?

Pun, memang kenapa toh kalau memasak kemudian selalu diasosiasikan dengan perempuan? Membetulkan genting juga selalu diasosiasikan dengan laki-laki. Membeli perabotan rumah yang mewah dan menyekolahkan anak di sekolah mahal juga selalu diasosiasikan dengan kemampuan laki-laki mencari uang.

Saya rasa saya tidak akan pernah mempermasalahkan jika saya diasosiasikan sebagai tukang masak. Yang akan saya permasalahkan adalah saat orang mempertanyakan mengapa saya memilih untuk tidak memasak demi bekerja. Dan memang itu yang mungkin masih dirasakan oleh banyak perempuan bahkan di kota besar. Mengapa kita harus memilih antara kantor dan dapur? Dan mengapa ketika kita memilih salah satunya lalu kita dihakimi?


Diminta memilih antara pulang atau pergi itu menurut saya seperti diminta untuk memilih kaya atau sehat: mustahil. Untuk apa bisa pulang kalau tidak bisa pergi lagi? Untuk apa pergi kalau tidak bisa pulang?

Pemikiran absurd ini muncul saat saya sedang leyeh-leyeh di sela-sela mengerjakan pekerjaan kantor. Saya tiba-tiba kepikiran pada salah satu novel dari penulis Indonesia yang menurut saya cukup apik yaitu Pulang dari Tere Liye. Saya harus mengatakan bahwa saya bukan penggemar penulis-penulis Indonesia, apalagi dalam hal fiksi. Banyak cerita yang menurut saya nanggung dan memiliki gaya bahasa yang 'ngga gue banget'. Mungkin hal ini karena pengaruh membaca novel-novel terjemahan R. L. Stine sejak dari jaman SD yang kemudian membuat saya terbiasa menikmati gaya bahasa novel terjemahan.

Kembali pada novel Pulang Tere Liye, saya membaca novel tersebut kira-kira dua tiga tahunan yang lalu. Rekomendasi dari seseorang. Waktu itu saya penasaran pada gaya penulisan Tere Liye dan memutuskan untuk membaca salah satu novelnya. Katanya, Pulang adalah novel Tere Liye paling bagus yang pernah ia baca.

Memang, saya akui Pulang adalah salah satu novel yang melebihi ekspektasi saya waktu itu. Tere Liye berhasil menampilkan gambaran detail dari setiap sisi ceritanya. Meskipun akhir ceritanya terasa antiklimaks dan menurunkan tingkat kesukaan saya terhadap novel tersebut tapi saya bisa dengan aman bilang bahwa saya menikmati Pulang. Dan dengar-dengar novel Pergi juga sudah ada tapi saya belum tertarik untuk membacanya. Mungkin nanti.

Kembali pada masalah pulang atau pergi. Banyak orang merasa bahwa pulang adalah pilihan yang lebih romantis. Pulang ke rumah, pulang pada orang yang terasa bagai rumah. Duh, manis sekali, kan?

Pulang diasosiasikan dengan kenyamanan, keamanan, dan ke-permanen-an. Sesuatu yang memang terasa sangat jarang ada pada kehidupan kita. Pulang terasa jauh lebih berharga karena tidak semua dari kita beruntung bisa pulang. Tidak semua dari kita beruntung bisa punya sesuatu, atau seseorang, untuk pulang.

Tapi, tetap bagi saya, saya lebih memilih pergi. Pergi selalu memberikan konotasi negatif. Orang-orang yang pergi adalah orang-orang yang menyakiti, yang melupakan, yang antagonis. Apalagi jika tidak pakai embel-embel pulang kembali. Bahkan dulu saya selalu tidak suka tiap kali ibu saya mengatakan bahwa beliau mau pergi, entah itu ke kampus atau ke kantor atau sekadar ke pasar membeli susu. Dalam kepergian tidak pernah ada kepastian akan pulang.

Tapi saya tetap memilih pergi ketimbang pulang. Bagi saya pergi berarti jutaan kesempatan yang bisa saya hadapi. Pergi berarti menemukan banyak hal baru dalam perjalanan. Entah itu batu dengan bentuk unik di pinggir trotoar atau jajanan dengan rasa aneh dan saus yang terlalu pedas. Saya merasa bahwa bepergian membuat saya menemukan diri sendiri.

Apa selalu pergi tidak melelahkan?

Saya selalu merasa bahwa pulang adalah sebuah finalisasi. Bahwa begitu sampai rumah maka saya akan menyublim menjadi kenyamanan. Mengenakan piyama katun tanpa celana, rebah, dan menyendok eskrim dari mangkuk kertasnya. Pergi memberikan hidup saya arti yang lebih. Berjalan memberikan ilusi bahwa kita punya tujuan.

Karena itu, pandemi ini membuat otak saya berdesing menyakitkan. Saya butuh pergi. Saya butuh tersesat dan ditemukan.
Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

It's a picture of somebody trying to figure things out while writing them.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Al-Qarawiyyin, Universitas Pertama di Dunia: Menyangkal Dominasi Barat dan Pria
  • Mencintaimu Sampai ke Bulan
  • Bersamamu Aku
  • Pecandu Penjelasan
  • Keluarga Baru 2015
  • MUN Enthusisast
  • Menjadi Pria dan Wanita Tidak Memberikan Kita Pilihan Untuk Menjadi Benar
  • Setelah 4 Season dari 13 Reasons Why
  • Pengalaman Daftar Türkiye Bursları 2018 DAN GAGAL
  • Tidak Perlu Bangun

Categories

  • Commentario 13
  • Experiencia 17
  • Literatura 5
  • Reflexión 18

Follow by Email

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Tidak Perlu Diromantisasi, Jogja (Memang) Sudah Romantis

Arsip Blog

  • Desember 2020 (2)
  • Agustus 2020 (1)
  • Juli 2020 (5)
  • Juni 2020 (6)
  • Mei 2020 (5)
  • Mei 2018 (2)
  • Juli 2016 (2)
  • Mei 2016 (1)
  • April 2016 (1)
  • Februari 2016 (5)
  • Agustus 2015 (10)
  • Maret 2015 (5)
  • Juni 2014 (5)

Postingan Populer

  • Kuliah HI Keren, Kak!
    "Kamu mau kuliah jurusan apa nanti?" "HI, Hubungan Internasional." "Karena keren ya? Ada internasionalnya." Sa...
  • Mencintaimu Sampai ke Bulan
    Saya suka sekali dengan frasa "I love you to the moon and back" dan menggunakannya secara berlebihan kepada sahabat-sahabat saya d...
  • Al-Qarawiyyin, Universitas Pertama di Dunia: Menyangkal Dominasi Barat dan Pria
    Universitas, sebagai jenjang pendidikan tertinggi, bukanlah sekedar institusi. Universitas selama ratusan tahun telah menjadi ibu dari semua...

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates