Ada 3 alasan saya menyukai film Theory of Everything:
1. British accent, British actors: just British!
2. Eddie Redmayne
3. Based on true events
Saya
memang cukup menyukai film-film biografikal semacam ini, bagi saya ada
sebuah ketertarikan emosional ketika saya tahu bahwa 'fiksi' yang sedang
saya tonton ternyata merupakan kisah yang sungguh-sungguh terjadi.
Meskipun, yaaah.. Tentu saja kebanyakan film dengan embel-embel 'based
on true events' tentunya memiliki beberapa potongan dan sempalan di
sana-sini untuk membuat kisah atau konfliknya menarik tapi bagi saya
film-film ini tetap menjadi salah satu jembatan saya kepada kisah-kisah
dongeng, yang menjadi bukti bahwa kehidupan itu bisa berakhir indah bagi semua orang.
Ok, jadi tepat 5 tahun yang lalu saya menonton film ini dan begitu menyukainya sampai saya menuliskan ulasannya di blog di sini.
Tapi
tentu saja tulisan saya waktu itu sangat 'meh'. Yah, maklumi saja saya
baru kuliah semester dua atau tiga waktu itu, masih sangat bodoh dan
belum tahu banyak hal, meskipun sekarang juga masih sama keadaannya.
Jadi, beberapa minggu yang lalu saya menyempatkan diri menonton kembali
Theory of Everything dan saya terkesan dengan betapa banyaknya hal yang
saya luputkan.
Ketika
saya menonton film ini 5 tahun yang lalu, saya tersedot pada peliknya
kisah romansa antara Stephen dan Jane. Saya menghabiskan dua jam
menonton dan yang saya rasakan hanya satu: cinta. Bahwa cinta itu punya
masa habis. Tidak ada cinta yang bisa ajeg selamanya, terlebih jika kita
sudah habis-habisan memberikan cinta dan kasih di awal mula. Terlebih
jika kita jadi satu-satunya yang mengangkat beban dan memastikan
segalanya tetap berjalan. Ternyata, rasa lelah lebih agung daripada
cinta.
Film
ini dulu menyadarkan saya bahwa, selain kasih ibu, tidak ada lagi kasih
yang sama murni dan kerelaannya. Tidak ada kasih yang mampu bertahan
dalam keterus-terusan memberi. Ungkapan yang mengatakan bahwa cinta
adalah terus memberi tanpa mengharapkan kembali adalah omong kosong
paling besar di muka bumi ini. Orang-orang yang percaya pada hal
tersebut layak dipenjarakan di pulau terpencil. Dari film itu, dan
beberapa pengalaman pribadi, saya paham bahwa cinta sendirian tidak akan
berhasil. Bukan berarti saya sudah pernah berhasil, selama ini yang
saya temui hanya kegagalan. Tapi tetap saya punya keyakinan bahwa cinta
saja, tidak pernah dan tidak akan pernah, cukup. Kerjasama adalah
keharusan nomor dua yang datang setelah cinta. Cinta tanpa kerja sama?
Bencana. Kerja sama tanpa cinta? Rekan bisnis.
Tapi
setelah beberapa malam yang lalu saya menonton film ini kembali saya
jadi menyadari hal yang jauh lebih daripada sekadar cinta dan usaha.
Saya bisa melihat bahwa Jane bukan hanya merasa lelah karena harus
berusaha sendirian. Ia juga lelah karena harus selalu menjadi yang nomor
dua.
Tepat
sebelum Jane menikah dengan Stephen, ayah Stephen mengatakan bahwa
semua ini lebih besar daripada apa yang Jane kira. Bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan tidak akan merestui pernikahan mereka. Beban ilmu
pengetahuan ada di tahun-tahun Stephen yang tidak akan panjang. Bahwa
Jane, akan membuat waktu yang sudah sedikit itu menjadi semakin sedikit.
Ilmu pengetahuan akan marah.
Adegan
tersebut mengingatkan saya kepada kecenderungan wanita untuk selalu
menjadi nomor dua setelah pencapaian suaminya. Bahwa ia hanya dipandang
sebagai sesuatu yang akan memberatkan, atau sebagai pelengkap atas
hal-hal besar yang bisa dicapai seorang lelaki. Behind every successful man is a great woman. Kenapa
wanita harus di belakang? Kenapa tidak di sisi? Karena, tentu saja,
saat mendapatkan pencapaian, laki-laki akan tampil di permukaan all by himself and his mighty power.
Saya
jadi teringat pada film Kim Ji-Young, Born 1982 yang menitikberatkan
pada peran wanita di negeri timur. Bagaimana domestikasi wanita menjadi
hal yang lumrah dan normal. Sampai ke titik di mana wanita yang
menginginkan karir menjadi hal yang tidak lumrah dan tidak normal. Saya
lalu jadi teringat kembali pada ungkapan Najwa Shihab yang terkenal:
"Kenapa sih wanita harus selalu memilih? Bukankah kita bisa mendapatkan kedua-duanya?"Ya, tidak ada yang tidak saya sepakati dari pertanyaan tersebut. Meskipun, tentu, akan mudah menanyakan pertanyaan tersebut jika perempuan itu adalah Najwa Shihab yang memiliki reputasi nasional dan penghasilan yang bukan kepalang besarnya. Bagaimana jika yang menanyakan pertanyaan tersebut adalah wanita biasa? Yang karirnya hanya berarti duduk di meja kantor dari pukul 8 hingga 4 mengerjakan dokumen-dokumen membosankan yang tidak mengubah dunia? Bagaimana jika yang menanyakan tersebut adalah wanita biasa? Yang penghasilan dari pekerjaannya hanya separuh dari apa yang suaminya dapatkan? Maka jawabannya adalah wanita harus memilih. Dan terkadang pilihannya sudah pasti. Lelaki mendapatkan penghasilan lebih besar dan anak-anak membutuhkan kasih sayang dari ibunya setiap saat. Najwa Shihab lupa bahwa pilihan semua wanita tidak sama.
Begitu
pula pilihan yang dimiliki Jane. Ia harus memilih hidup bahagia atau
hidup tanpa beban. Ia harus memilih pencapaiannya atau pencapaian
Stephen. Semua wanita pada akhirnya harus memilih, pilihan yang sulit.
Dan tentu saja, masih akan ada laki-laki yang dengan lancangnya berseru
"Kalian beruntung kalian bisa punya pilihan!"
0 comments