Kata Flory

  • Tentang
  • Kategori
    • Experiencia
    • Reflexion
    • Commentario
    • Literatura
  • Kontak

 

Dulu, sewaktu memutuskan ingin kuliah di universitas mana, saya hanya ingin UI. Iya, biarpun universitasnya ada di kota yang membosankan dan ruwet tapi demi UI saya rela-rela saja hidup di kota yang medioker. Lalu saya juga mencari cadangan kampus lain kalau-kalau tidak diterima di UI. Pilihan saya bukan pada kampus lagi tapi kota. Kalau tidak bisa kuliah di UI, yaa might as well kuliah di tempat yang saya suka suasananya. Jogja. Saya pun mencari kampus swasta terbaik yang punya jurusan Hubungan Internasional di sana. 

Kenapa saya begitu ngotot sekali kuliah jauh-jauh sampe ke Jogja? Saya juga tidak tahu. Bagi saya dulu Jogja itu kota cantik. Bandung juga cantik sih, tapi orangtua saya tidak mengizinkan remaja baru lulus SMA untuk kuliah di Bandung. Entah kenapa hidup di Bandung bagi orangtua saya konotasinya negatif. Ketika saya memberikan proposal Jogja, wah langsung disetujui. Pertama, karena dekat Karanganyar dan Solo kampung halaman saya. Kedua, karena biaya hidupnya murah. Ketiga, supaya dikelilingi oleh orang-orang Jawa (jadi mama tidak perlu cemas punya mantu selain orang Jawa, katanya).

Dan bidikan saya tepat. Selama empat tahun saya kuliah, Jogja benar-benar tidak pernah mengecewakan. Selalu cantik, selalu ramah. Rasanya seperti rumah kedua.

"Kalau pacaran di Jogja terus putus, harus pindah kota nih biar bisa move on!"

Celetuk salah satu teman saya di akun twitternya. Mungkin iya bagi beberapa orang, tapi Jogja bagi saya lebih dari sekedar kenangan menye-menye bersama mantan kekasih. Tentu saja saya patah hati berkali-kali di sini. Jatuh cinta juga berkali-kali di sini. Tidak mengubah perasaan saya terhadap tempat nyaman ini. Karena selama empat tahun saya punya buanyak sekali kenangan indah di sini: bersama teman-teman, rekan kerja. Kenangan haru biru dan kenangan membanggakan yang rasa-rasanya tidak akan bisa ditandingi oleh kota-kota lain.

Banyak yang bilang Jogja terlalu diromantisasi. Katanya Jogja dikisahkan dramatis agar orang-orang lupa berbagai masalah pelik yang menyelimuti tanah sultan ini: sampah, kemacetan, klitih, dan upah kelewat kecil. 

"Tapi, Jogja tuh provinsi paling bahagia se-Indonesia, loh!"

Saya berargumen kala itu ketika sedang berdiskusi dengan teman apakah hidup seterusnya hingga punya anak cucu di Jogja adalah hal yang tepat.

"Yaa.. Karena orang-orangnya nrimo ngga sih? Kayak yang... Yaudahlah. Gitu."

Iya, memang. Kan bahagia itu hanya masalah penerimaan.


Dulu saya tidak pernah membayangkan hidup (berkeluarga, membesarkan anak) selain di Jakarta. Kenapa? Sederhana. Ibukota akan selalu punya akses pendidikan dan kesehatan yang terbaik. Tapi lalu sekarang saya tahu bahwa Jogja juga punya sekolah yang tidak kalah bagus dari SMA 70 atau atau SD Menteng 03. Rumah sakit, mall, bahkan peninggalan budaya dan museum pun tak kalah bagus dari Jakarta. Pun dengan transportasinya. Memang Jogja belum punya MRT sih, tapi sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, siapa tau?

Tapi Jogja tidak hingar bingar. Tidak mengejar. Selama hampir setengah tahun ini saya kembali hidup di Jogja, entah kenapa semakin hari saya tambah semakin nrimo dan tidak macam-macam. Saya kan mau kota yang hidup dan menuntut supaya hidup bisa terus tambah maju. Iya, kan?

Pada akhirnya, dimanapun nanti saya hidup, perasaan saya pada Jogja tetap tidak berubah. Perasaan yang sama tiap kali saya berkendara melewati Tugu Pal Putih ke arah stasiun Yogyakarta lalu membelok sampai ke Malioboro: Jogja, kamu cantik sekali.

 

 
 
 
Setelah berpetualang dan berlelah-lelah di hari Sabtu, maka hari Minggu adalah waktu untuk tidak mandi seharian dan tidak meninggalkan kasur sekalian. Setelah membeli salad buah promo untuk makan siang sekaligus makan malam, saya kembali bergelung di bawah selimut dan melanjutkan dua episode terakhir Cosmos: The Space Odyssey yang sempat terjeda oleh How To Get Away With Murder.

Dari kecil, saya lebih suka langit daripada laut. Planetarium Jakarta adalah salah satu destinasi liburan terbaik yang pernah saya kunjungi waktu kecil dulu. Laut kita memang luas dan penuh misteri, tapi apa misteri yang lebih dalam dan tidak terbatas selain alam semesta? Mengetahui bahwa saya begitu kecil dan bahwa semesta begitu luat membuat saya merasa jumawa sekaligus awas. Dan karena alasan itulah saya mulai menonton serial Cosmos ini (selain karena tentu saja rating IMDBnya yang mengesankan!)

Sebagai perkenalan, serial Cosmos: The Space Odyssey ini dibawakan oleh Neil deGrasse Tyson dan terinspirasi dari serial dengan judul yang sama yang pernah dibawakan oleh legenda astrofisika, Carl Frikking Sagan. Sekalipun bercerita tentang luar angkasa, namun Cosmos juga banyak bercerita tentang kehidupan di bumi. Sebagai tontonan yang banyak bersinggungan dengan ilmu fisika seperti string theory, gravitasi, relativitas, dark matter, dan dark energy, hebatnya Cosmos juga menyajikan begitu banyak cerita dari ilmu pengetahuan lainnya seperti antropologi, biologi, dan bahkan biokimia.

Namun, sebagai orang yang menyukai dan memiliki latar belakang humaniora saya tentu saja lebih banyak mencerna dari sisi-sisi yang lain selain hard sciences yang ditayangkan. Seperti tentang bintang-bintang yang kita lihat di langit malam. Neil menjelaskan bahwa kemilau bintang-bintang yang kita lihat tidak lain merupakan pantulan sinar dari bintang yang sudah mati. Karena jaraknya yang begitu jauh dari bumi, sinarnya baru sampai ke bumi lama setelah tubuhnya meledak. Langit malam kita tidak lain dan tidak bukan adalah kuburan massal bintang-bintang.

Saat mendengarkan penjelasan ini, yang mengendap di pikiran saya bukan hanya seberapa jauh jarak satuan cahaya tapi bagaimana bintang-bintang sebenarnya merepresentasikan manusia. Ada miliaran manusia di muka bumi ini. Dan mereka semua ditakdirkan mati suatu hari nanti. Hanya sedikit saja yang bisa hidup hingga ribuan tahun kedepan. Ya, mereka-mereka yang sinarnya begitu terang hingga bisa bersinar melampaui ratusan tahun perubahan zaman.

Sama seperti bintang yang cahayanya memantul lama setelah meninggal. Manusia di bumi pun juga tetap 'dikenang' lama setelah mereka meninggal. Beberapa dikenal secara abadi. Orang-orang besar seperti Nabi Muhammad atau Newton. Beberapa yang lebih tidak signifikan seperti saya hanya akan dikenang oleh orang-orang terdekat saya. Keluarga, mungkin. Itupun hanya satu dua generasi saja. Lalu apa-apa yang saya pilih untuk hidup di dalam ingatan mereka adalah tanggungjawab saya. Semua bintang bersinar sama indahnya. Tapi sinar yang ditinggalkan manusia tentu saja beragam. Apa-apa yang ditinggalkan manusia setelah mereka meninggal tidak semuanya berkilauan. Namun, bagaimanapun jua toh manusia tersebut tetap hidup dalam pikiran manusia lainnya, dalam keadaan berkilauan maupun tidak.

Bukankah kita sama seperti bintang-bintang yang tetap hidup bahkan lama setelah kita mati?
 
Fisika membuat saya memahami hal-hal sederhana tentang kehidupan yang tidak pernah dijelaskan secara gamblang dalam kelas-kelas Humaniora.

Itu satu. Kemudian, hal lain yang saya dapat dari Cosmos adalah tentang betapa luasnya alam semesta. Dan karena itulah apapun masalah yang sedang dihadapi kita manusia kecil insignifikan ini bukan apa-apa dibanding megahnya dunia. Neil juga menjelaskan tentang betapa manusia masih saja takut dan enggan menjelajah alam semesta dengan alasan ketakutan akan ketidakpastian. Neil lalu memberikan contoh tentang kaum penjelajah dari Asia Timur yang mampu mengalahkan segala rintangan dan ketakutan akan ketidaktahuan untuk berlayar menuju pulau-pulau di daerah Pasifik. Umat manusia adalah penjelajah yang berani. Sebelumnya, di muka bumi kita hanya tahu satu daratan tapi lalu kita bisa mengarungi lautan dan menemui daratan lainnya yang tidak pernah kita tahu keberadaannya. Lalu, mengapa takut dengan mengarungi alam semesta? Bukankah kita, umat manusia, sudah pernah melakukannya?

Ini saya pahami sama dengan ketika kita harus melakukan hal yang benar-benar baru. Ketika hidup kita mendapatkan perubahan yang drastis, seringkali perubahan yang tidak kita inginkan, maka kita akan menyangkal atau bahkan melawan. Kenapa? Kenapa tidak kita arungi saja? Takut untuk pindah ke kota lain yang asing dan tidak kita kenal? Lalu kenapa? Bukankah nenek moyang kita saja begitu berani pindah mengarungi lautan tanpa ujung? Kenapa harus takut hanya berpindah kota? Berpindah tempat kerja? Dan pindah-pindah yang lainnya?

Nenek moyang kita adalah manusia yang hebat. Kenapa kita tidak bisa hebat juga?

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

It's a picture of somebody trying to figure things out while writing them.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Mencintaimu Sampai ke Bulan
  • Al-Qarawiyyin, Universitas Pertama di Dunia: Menyangkal Dominasi Barat dan Pria
  • Setelah 4 Season dari 13 Reasons Why
  • Kuliah HI Keren, Kak!
  • Pecandu Penjelasan
  • Menjadi Pria dan Wanita Tidak Memberikan Kita Pilihan Untuk Menjadi Benar
  • Tidak Perlu Diromantisasi, Jogja (Memang) Sudah Romantis
  • Bersamamu Aku
  • Fisika dan Filosofi: yang Saya Cerna dari Cosmos
  • Hati

Categories

  • Commentario 13
  • Experiencia 17
  • Literatura 5
  • Reflexión 18

Follow by Email

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Tidak Perlu Diromantisasi, Jogja (Memang) Sudah Romantis

Arsip Blog

  • Desember 2020 (2)
  • Agustus 2020 (1)
  • Juli 2020 (5)
  • Juni 2020 (6)
  • Mei 2020 (5)
  • Mei 2018 (2)
  • Juli 2016 (2)
  • Mei 2016 (1)
  • April 2016 (1)
  • Februari 2016 (5)
  • Agustus 2015 (10)
  • Maret 2015 (5)
  • Juni 2014 (5)

Postingan Populer

  • Kuliah HI Keren, Kak!
    "Kamu mau kuliah jurusan apa nanti?" "HI, Hubungan Internasional." "Karena keren ya? Ada internasionalnya." Sa...
  • Mencintaimu Sampai ke Bulan
    Saya suka sekali dengan frasa "I love you to the moon and back" dan menggunakannya secara berlebihan kepada sahabat-sahabat saya d...
  • Al-Qarawiyyin, Universitas Pertama di Dunia: Menyangkal Dominasi Barat dan Pria
    Universitas, sebagai jenjang pendidikan tertinggi, bukanlah sekedar institusi. Universitas selama ratusan tahun telah menjadi ibu dari semua...

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates